Kamis, 26 Mei 2011

Kumpulan Askep: Koma Hiperglikemik Hiperosmolar non ketotik

Kumpulan Askep: Koma Hiperglikemik Hiperosmolar non ketotik: "BAB I PENDAHULUAN LATAR BELAKANG Bertambahnya penyakit yang berkaitan pada pasien lansia adalah ketidakmampuan system kardiovaskuler..."

Koma Hiperglikemik Hiperosmolar non ketotik

BAB I
PENDAHULUAN

  1. LATAR BELAKANG
Bertambahnya penyakit yang berkaitan pada pasien lansia adalah ketidakmampuan system kardiovaskuler mengatasi perpindahan volume cepat trombosis intraseluler serta kejang setempat (diduga karena hiperkonsentrasi darah yang berlebihan dan kurangnya aliran darah setempat).
Diabetes Mellitus adalah keadaan hiperglikemi kronik yang disertai berbagai kelainan metabolik akibat gangguan hormonal yang menimbulkan berbagai komplikasi kronik pada mata, ginjal, saraf dan pembuluh darah, disertai lesi pada membran basalis dengan mikroskop elektron (Mansjoer dkk,1999). Diabetes yang tidak disadari dan tidak diobati dengan tepat atau diputus akan memicu timbulnya penyakit berbahaya dan memicu terjadinya komplikasi. Komplikasi yang diakibatkan kadar gula yang terus menerus tinggi dan merupakan penyulit dalam perjalanan penyakit diabetes mellitus salah satunya adalah Hiperglikemia Hiperosmolar Non Ketotik Hiperglikemia
Angka kematian HHNK 40-50%, lebih tinggi dari pada diabetik ketoasidosis. Karena pasien HHNK kebanyakan usianya tua dan seringkali mempunyai penyakit lain. Sindrom koma hiperglikemik hiperosmolar non ketosis penting diketahui karena kemiripannya dan perbedaannya dari ketoasidosis diabetic berat dan merupakan diagnosa banding serta perbedaan dalam penatalaksanaan (Hudak dan Gallo).
Pasien yang mengalami sindrom koma hipoglikemia hiperosmolar nonketosis akan mengalami prognosis jelek. Komplikasi sangat sering terjadi dan angka kematian mencapai 25%-50%.

  1. TUJUAN
  1. Tujuan umum
Mahasiswa dapat memberikan asuhan keperawatan pada klien (HHNK) hiperglikemia hiperosmolar non ketotik
  1. Tujuan khusus
    1. Diharapkan mahasiswa mengetahui pengertian Hiperglikemia Hiperosmolar Non Ketotik.
    2. Diharapkan mahasiswa mengetahui etiologi dari Hiperglikemia Hiperosmolar Non Ketotik.
    3. Diharapkan mahasiswa mengetahui manifestasi klinik dari Hiperglikemia Hiperosmolar Non Ketotik.
    4. Diharapkan mahasiswa mengetahui komplikasi Hiperglikemia Hiperosmolar Non Ketotik.
    5. Diharapkan mahasiswa mengetahui tindakan kritis pada pasien dengan Hiperglikemia Hiperosmolar Non Ketotik.
    1. Diharapkan mahasiswa mengetahui penatalaksaan medis Hiperglikemia Hiperosmolar Non Ketotik.
    2. Diharapkan mahasiswa mampu memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan Hiperglikemia Hiperosmolar Non Ketotik.



BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

  1. PENGERTIAN
Hiperglikemia Hiperosmolar Non Ketotik adalah suatu komplikasi akut dari diabetes melitus di mana penderita akan mengalami dehidrasi berat, yang bisa menyebabkan kebingungan mental, pusing, kejang dan suatu keadaan yang disebut koma. Ini terjadi pada penderita diabetes tipe II (www.wikipedia.com)
Hyperglikemia, Hiperosmolar Non Ketogenik adalah sindrom berkaitan dengan kekurangan insulin secara relative, paling sering terjadi pada panderita NIDDM. Secara klinik diperlihatkan dengan hiperglikemia berat yang mengakibatkan hiperosmolar dan dehidrasi, tidak ada ketosis/ada tapi ringan dan gangguan neurologis
Hiperglikemik Hiperosmolar Non Ketosis adalah keadaan koma akibat dari komplikasi diabetes melitus di mana terjadi gangguan metabolisme yang menyebabkan: kadar gula darah sangat tinggi, meningkatkan dehidrasi hipertonik dan tanpa disertai ketosis serum, biasa terjadi pada DM tipe II.
Koma Hiperosmolar Hiperglikemik NonKetotik ialah suatu sindrom yang ditandai dengan hiperglikemia berat, hiperosmolar, dehidrasi berat tanpa ketoasidosis, disertai penurunan kesadaran (Mansjoer, 2000).
Menurut Hudak dan Gallo (edisi VI) koma hiperosmolar adalah komplikasi dari diabetes yang ditandai dengan :
  1. Hiperosmolaritas dan kehilangan cairan yang hebat.
  2. Asidosis ringan.
  3. Sering terjadi koma dan kejang lokal.
  4. Kejadian terutama pada lansia.
  5. Angka kematian yang tinggi.
  1. ETIOLOGI
    1. Insufisiensi insulin
      1. DM, pankreatitis, pankreatektomi
      2. Agen pharmakologic (phenitoin, thiazid)
    2. Increase exogenous glukose
      1. Hiperalimentation (tpn)
      2. High kalori enteral feeding
    3. Increase endogenous glukosa
      1. Acute stress (ami, infeksi)
      2. Pharmakologic (glukokortikoid, steroid, thiroid)
    4. Infeksi: pneumonia, sepsis, gastroenteritis.
    5. Penyakit akut: perdarahan gastrointestinal, pankreatitits dan gangguan kardiovaskular.
    6. Pembedahan/operasi.
    7. Pemberian cairan hipertonik.
    8. Luka bakar.
Faktor risiko:
  1. Kelompok usia dewasa tua (>45 tahun)
  2. Kegemukan (BB(kg)>120% BB idaman, atau IMT>27 (kg/m2)
  3. Tekanan darah tinggi (TD > 140/90 mmHg)
  4. Riwayat keluarga DM
  5. Riwayat kehamilan dengan BB lahir bayi > 4000 gram
  6. Riwayat DM pada kehamilan
  7. Dislipidemia (HDL<35 mg/dl dan/atau trigliserida>250 mg/dl)
  8. Pernah TGT (Toleransi Glukosa Terganggu) atau GDPT (Glukosa Darah Puasa Terganggu)




  1. MANIFESTASI KLINIK
Tanda dan gejala umum pada klien dengan HHNK adalah haus, kulit terasa hangat dan kering, mual dan muntah, nafsu makan menurun, nyeri abdomen, pusing, pandangan kabur, banyak kencing, mudah lelah (www.tabloid-nakita.com).
Gejala-gejala meliputi :
  1. Agak mengantuk, insiden stupor atau sering koma.
  2. Poliuria selam 1 -3 hari sebelum gejala klinis timbul.
  3. Tidak ada hiperventilasi dan tidak ada bau napas.
  4. Penipisan volume sangat berlebihan (dehidrasi, hipovolemi).
  5. Glukosa serum mencapai 600 mg/dl sampai 2400 mg/dl.
  6. Kadang-kadang terdapat gejala-gejala gastrointestinal.
  7. Hipernatremia.
  8. Kegagalan mekanisme haus yang mengakibatkan pencernaan air tidak adekuat.
  9. Osmolaritas serum tinggi dengan gejala SSP minimal (disorientasi, kejang setempat).
  10. Kerusakan fungsi ginjal.
  11. Kadar HCO3 kurang dari 10 mEq/L.
  12. Kadar CO2 normal.
  13. Celah anion kurang dari 7 mEq/L.
  14. Kalium serum biasanya normal.
  15. Tidak ada ketonemia.
  16. Asidosis ringan.

  1. PATOFISIOLOGI
Sindrome Hiperglikemia Hiperosmolar Non Ketotik mengambarkan kekurangan hormon insulin dan kelebihan hormon glukagon. Penurunan insulin menyebabkan hambatan pergerakan glukosa ke dalam sel, sehingga terjadi akumulasi glukosa di plasma. Peningkatan hormon glukagon menyebabkan glycogenolisis yang dapat meningkatkan kadar glukosa plasma. Peningkatan kadar glukosa mengakibatkan hiperosmolar. Kondisi hiperosmolar serum akan menarik cairan intraseluler ke dalam intra vaskular, yang dapat menurunkan volume cairan intraselluler. Bila klien tidak merasakan sensasi haus akan menyebabkan kekurangan cairan.
Tingginya kadar glukosa serum akan dikeluarkan melalui ginjal, sehingga timbul glycosuria yang dapat mengakibatkan diuresis osmotik secara berlebihan ( poliuria ). Dampak dari poliuria akan menyebabkan kehilangan cairan berlebihan dan diikuti hilangnya potasium, sodium dan phospat.
Akibat kekurangan insulin maka glukosa tidak dapat diubah menjadi glikogen sehingga kadar gula darah meningkat dan terjadi hiperglikemi. Ginjal tidak dapat menahan hiperglikemi ini, karena ambang batas untuk gula darah adalah 180 mg% sehingga apabila terjadi hiperglikemi maka ginjal tidak bisa menyaring dan mengabsorbsi sejumlah glukosa dalam darah. Sehubungan dengan sifat gula yang menyerap air maka semua kelebihan dikeluarkan bersama urine yang disebut glukosuria. Bersamaan keadaan glukosuria maka sejumlah air hilang dalam urine yang disebut poliuria. Poliuria mengakibatkan dehidrasi intra selluler, hal ini akan merangsang pusat haus sehingga pasien akan merasakan haus terus menerus sehingga pasien akan minum terus yang disebut polidipsi. Perfusi ginjal menurun mengakibatkan sekresi hormon lebih meningkat lagi dan timbul hiperosmolar hiperglikemik.
Produksi insulin yang kurang akan menyebabkan menurunnya transport glukosa ke sel-sel sehingga sel-sel kekurangan makanan dan simpanan karbohidrat, lemak dan protein menjadi menipis. Karena digunakan untuk melakukan pembakaran dalam tubuh, maka klien akan merasa lapar sehingga menyebabkan banyak makan yang disebut poliphagia.
Kegagalan tubuh mengembalikan ke situasi homestasis akan mengakibatkan hiperglikemia, hiperosmolar, diuresis osmotik berlebihan dan dehidrasi berat. Disfungsi sistem saraf pusat karena ganguan transport oksigen ke otak dan cenderung menjadi koma.
Hemokonsentrasi akan meningkatkan viskositas darah dimana dapat mengakibatkan pembentukan bekuan darah, tromboemboli, infark cerebral, jantung.

  1. KOMPLIKASI
    1. Koma.
    2. Gagal jantung.
    3. Gagal ginjal.
    4. Gangguan hati.

  2. PENATALAKSANAAN MEDIS
Pengobatan
  1. Pengobatan utama adalah rehidrasi dengan mengunkan cairan
NACL bisa diberikan cairan isotonik atau hipotonik ½ normal diguyur 1000 ml/jam sampai keadaan cairan intravaskular dan perfusi jaringan mulai membaik, baru diperhitungkan kekurangan dan diberikan dalam 12-48 jam. Pemberian cairan isotonil harus mendapatkan pertimbangan untuk pasien dengan kegagalan jantung, penyakit ginjal atau hipernatremia.
Gklukosa 5% diberikan pada waktu kadar glukosa dalam sekitar 200-250 mg%.
  1. Insulin
Pada saat ini para ahli menganggap bahwa pasien hipersemolar hiperglikemik non ketotik sensitif terhadap insulin dan diketahui pula bahwa pengobatan dengan insulin dosis rendah pada ketoasidosis diabetik sangat bermanfaat. Karena itu pelaksanaan pengobatan dapat menggunakan skema mirip proprotokol ketoasidosis diabetik
  1. Kalium
Kalium darah harus dipantau dengan baik. Bila terdapat tanda fungsi ginjal membaik, perhitungan kekurangan kalium harus segera diberikan
  1. Hindari infeksi sekunder
Hati-hati dengan suntikan, permasalahan infus set, kateter


  1. PATHWAY

< hormon insulin > hormon glukagon

akumulasi glukosa di plasma glikogenesis
transport kadar glukosa plasma
glukosa
ke sel
hiperglikemia hemokonsentrasi

makanan
sel < glikosuria viskositas darah tromboemboli


poliphagia diuresis osmotik >> gang. transport O2 hipertrofi ventrikel

poliuria iskemia jaringan Gagal Jantung

kehilangan cairan >> nekrosis otak

G3 perfusi jaringan
potasium, sodium, Koma
phospat


imbalance elektrolit metabolisme anaerob kesadaran


merangsang dehidrasi asam laktat
p
Jalan napas ≠ efektif
usat haus

hiperosmolar fatigue
polidipsi
Intoleransi aktivitas

hipovolume

Vol. cairan < dari kebutuhan





BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

  1. PENGKAJIAN
  1. Primery Survey
  1. Air way
Kemungkinan ada sumbatan jalan nafas, terjadi karena adanya penurunan kesadaran/koma sebagai akibat dari gangguan transport oksigen ke otak.
  1. Breathing
Tachypnea, sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan oksigen.
  1. Circulation
Sebagai akibat diuresis osmotik, akan terjadi dehidrasi. Visikositas darah juga akan mengalami peningkatan, yang berdampak pada resiko terbentuknya trombus. Sehingga akan menyebabkan tidak adekuatnya perfusi organ.
  1. Disability
  1. Sekunder Survey
Bilamana managemen ABC menghasilkan kondisi yang stabil, perlu pengkajian dengan menggunakan pendekatan head to toe.
Dari pemeriksaan fisik ditemukan pasien dalam keadaan apatis sampai koma, tanda-tanda dehidrasi seperti turgor turun disertai tanda kelainan neurologist, hipotensi postural, bibir dan lidah kering, tidak ada bau aseton yang tercium dari pernapasan, dan tidak ada pernapasan Kussmaul.
  1. Pemeriksaan fisik
  1. Neurologi (Stupor, Lemah, disorientasi, Kejang, Reflek normal,menurun atau tidak ada.
  2. Pulmonary (Tachypnae, dyspnae, Nafas tidak bau acetone, Tidak ada nafas kusmaul.
  3. Cardiovaskular (Tachicardia, Hipotensi postural, Mungkin penyakit kardiovaskula( hipertensi, CHF ), Capilary refill > 3 detik.
  4. Renal (Poliuria( tahap awal ), Oliguria ( tahap lanjut ), Nocturia, inkontinensia
  5. Integumentary (Membran mukosa dan kulit kering, Turgor kulit tidak elastis, Mata lembek, Mempunyai infeksi kulit, luka sulit sembuh.
  6. Gastrointestinal (Distensi abdomen danPenurunan bising usus)

  1. Tersier Survey
  1. Riwayat Keperawatan
  1. Persepsi-managemen kesehatan
  • Riwayat DM tipe II
  • Riwayat keluarga DM
  • Gejala timbul beberapa hari, minggu.
  1. Nutrisi – metabolik
  • Rasa haus meningkat, polidipsi atau tidak ada rasa haus.
  • Anorexia
  • Berat badan turun.
  1. Eliminasi
  • Poliuria, nocturia.
  • Diarhe atau konstipasi.
  1. Aktivitas – exercise
  • lelah, lemah.
  1. Kognitif
  • Kepala pusing, hipotensi orthostatik.
  • Penglihatan kabur.
  • Gangguan sensorik.
  1. Pemeriksaan Diagnostik
  1. Serum glukosa: 800-3000 mg/dl.
  2. Gas darah arteri: biasanya normal.
  3. Elektrolit biasanya rendah karena diuresis.
  4. BUN dan creatinin serum meningkat karena dehidrasi atau ada gangguan renal.
  5. Osmolalitas serum: biasanya lebih dari 350 mOsm/kg.
  6. pH > 7,3.
  7. Bikarbonat serum> 15 mEq/L.
  8. Sel darah putih meningkat pada keadaan infeksi.
  9. Hemoglobin dan hematokrit meningkat karena dehidrasi.
  10. EKG mungkin aritmia karena penurunan potasium serum.
  11. Keton urine tidak ada atau hanya sedikit.

  1. Prioritas Masalah.
  1. Volume cairan kurang dari kebutuhan
  2. Gangguan perfusi jaringan
  3. Jalan napas tidak efektif
  4. Intoleransi aktivitas

Diagnosa Keperawatan dan Intervensi.
  1. Volume cairan kurang dari kebutuhan berhubungan dengan deuresis osmotik
Intervensi :
    1. Dapatkan riwayat pasien atau orang terdekat sehubungan lamanya atau intensitas dari gejala seperti pengeluaran urine yang berlebih.
Rasional :
Membantu dalam memperkirakan kekurangan volume total. Tanda dan gejala mungkin sudah ada pada beberapa waktu sebelumnya.
    1. Pantau TTV, catat adanya perubahan TD ortostatik.
Rasional :
Hipovolemia dapat dimanisfestasikan oleh hipotensi dan takikardia. Perkiraan berat ringannya hipovolemia, dapat dibuat ketika tekanan darah sistolik pasien turun lebih dari 10 mm Hg dari posisi berbaring ke posisi duduk atau berdiri.
    1. Pantau pola nafas seperti adanya pernapasan Kussmaul atau pernapasan yang berbau keton.
Rasional :
Paru-paru mengeluarkan asam karbonat melalui pernapasan yang menghasilkan kompensasi alkalosis respiratoris terhadap keadaan ketoasidosis. Pernapasan yang berbau aseton berhubungan dengan pemecahan asam aseto-asetat dan harus berkurang bila ketosis harus terkoreksi.
    1. Pantau frekuensi dan kualitas pernapasan, penggunaan otot bantu napas, dan adanya apnea dan munculnya sianosis.
Rasional :
Koreksi hiperglikemia dan asidosis akan menyebabkan pola dan frekuensi pernapasan mendekati normal. Tetapi peningkatan kerja pernapasan, pernapasan dangkal, pernapasan cepat, dan munculnya sianosis mungkin merupakan indikasi dari kelelahan pernapasan dan mungkin pasien itu kehilangan kemampuannya untuk melakukan kompensasi pada asidosis.
    1. Pantau suhu, warna kulit, atau kelembabannya.
Rasional :
Meskipun demam, menggigil dan diaforesis merupakan hal umum terjadi pada proses infeksi, demam dengan kulit kemerahan, kering mungkin sebagai cerminan dari dehidrasi.
    1. Pantau masukan dan pengeluaran, catat berat jenis urin.
Rasional :
Memberikan perkiraan kebutuhan akan cairan pengganti, fungsi ginjal, dan keefektifan dari terapi yang diberikan.
    1. Berikan cairan sesuai dengan indikasi : normal salin atau setengah normal salin dengan atau tanpa dektrosa.
Rasional :
Tipe dan jumlah cairan tergantung pada derajat kekurangan cairan dan respon pasien secara individual.
    1. Berikan kalium atau elektrolit yang lain melalui IV dan atau melalui oral sesuai indikasi.
Rasional :
Kalium harus ditambahkan pada IV untuk mencegah hipokalemia.
    1. Pantau pemeriksaan laboratorium seperti natrium.
Rasional :
Mungkin menurun yang dapat mencerminkan perpindahan cairan dari intrasel (diuresis osmotik). Kadar natrium yang tinggi mencerminkan kehilangan cairan atau dehidrasi berat atau reabsorpsi natrium dalam berespon terhadap sekresi aldosteron.

  1. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan adanya gangguan transport O2
Intervensi :
    1. Pertahankan tirah baring dengan posisi kepala datar dan pantau tanda vital sesuai indikasi.
Rasional :
Perubahan tekanan CSS mungkin merupakan potensi adanya resiko herniasi batang otak yang memerlukan tindakan medis dengan segera.
    1. Pantau frekuensi atau irama jantung.
Rasional :
Perubahan pada frekuensi (tersering adalah bradikardia) dan disritmia dapat terjadi, mencerminkan trauma atau tekanan batang otak.
    1. Berikan tindakan yang menimbulkan rasa nyaman, seperti masase punggung, lingkungan yang tenang, suara yang halus dan sentuhan yang lembut.
Rasional :
Meningkatkan istirahat menurunkan stimulasi sensori yang belebihan.
    1. Pantau status neurologis secara teratur dan bandingkan dengan nilai standart (misalnya skala koma Glascow).
Rasional :
Mengkaji adanya kecenderungan pada tingkat kesadaran dan potensial peningkatan TIK dan bermanfaat dalam menentukan lokasi, dan perkembangan kerusakan SSP.
    1. Catat ada atau tidaknya refleks-refleks tertentu seperti refleks menelan, batuk dan Babinski.
Rasional :
Penurunan refleks menandakan adanya kerusakan pada tingkat otak tengah atau batang otak dan sangat berpengaruh langsung terhadap keamanan pasien. Kehilangan refleks berkedip mengisyaratkan adanya kerusakan pada daerah pons dan medulla. Tidak adanya refleks batuk meninjukkan adanya kerusakan pada medulla. Refleks Babinski positif mengindikasikan adanya trauma sepanjang jalur pyramidal pada otak.
    1. Tinggikan kepala tempat tidur sekitar 15-45 derajat sesuai toleransi atau indikasi. Jaga kepala pasien tetap berada pada posis netral.
Rasional:
Peningkatan aliran vena dari kepala akan menurunkan TIK.
    1. Berikan cairan IV dengan alat control khusus. Batasi pemasukan cairan dan berikan larutan hipertonik atau elektrolit sesuai indikasi.
Rasional:
Meminimalkan fluktuasi dalam aliran vaskuler dan TIK. Restriksi cairan mungkin diperlukan untuk mengurangi cairan tubuh total dan selanjutnya akan menurnkan edema serebral terutama saat munculnya SIADH.
    1. Berikan O2 tambahan sesuai indikasi.
Rasional:
Menurunkan hipoksemia, yang mana dapat meningkatkan vasodilatasi dan volume darah serebral yang meningkatkan TIK.

  1. Jalan napas tidak efektif berhubungan dengan penurunan kesadaran.
Intervensi:
    1. Kaji frekuensi, kedalaman pernapasan.
Rasional:
Berguna dalam evaluasi derajat distress pernapasan dan atau kronisnya proses penyakit.

    1. Kaji atau awasi secara rutin kulit dan warna membrane mukosa.
Rasional:
Sianosis mungkin perifer (terlihat pada kuku) atau sentral (terlihat sekitar bibir atau daun telinga). Keabu-abuan dan sianosis sentral mengindikasikan beratnya hipoksemia.
    1. Auskultasi bunyi napas, catat area penurunan aliran udara dan atau bunyi tambahan.
Rasional:
Bunyi napas mungkin redup karena penurunan aliran udara atau area konsolidasi. Adanya mengi mengindikasikan spasme bronkus atau tertahannya secret. Krekels basah menyebar menunjukkan cairan pada intestisial atau dekompensasi jantung.
    1. Palpasi fremitus.
Rasional:
Penurunan getaran vibrasi diduga ada pengumpulan cairan atau udara terjebak.
    1. Awasi tingkat kesadaran atau status mental. Selidiki adanya perubahan.
Rasional:
Dapat menunjukkan peningkatan hipoksia atau komplikasi.
    1. Awasi tanda vital dan irama jantung.
Rasional:
Takikardia, disritmia, dan perubahan TD dapat menunjukkan efek hipoksemia sistemik pada fungsi jantung.
    1. Berikan O2 tambahan melalui nasal kanul, masker parsial atau masker dengan humidifikasi tinggi seuai indikasi.
Rasional:
Memaksimalkan sediaan O2, khususnya bila ventilasi menurun depresi anestesi atau nyeri, juga selama periode kompensasi fisiologi sirkulasi terhadap unit fungsional alveolar.
    1. Awasi atau buat gambaran GDA, nasi oksimetri. Catat kadar Hb.
Rasional:
Penurunan PaO2 atau peningkatan PaCO2 dapat menunjukkan kebutuhan untuk dukungan ventilasi. Kehilangan darah bermakna dapat mengakibatkan penurunan kapasitas pembawa O2, menurunkan PaO2.

  1. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelelahan.
Intervensi:
    1. Kaji atau diskusikan tingkat kelelahan pasien dan identifikasi aktivitas yang dapat dilakukan pasien.
Rasional:
Pasien biasanya telah mengalami penurunan tenaga, kelelahan otot menjadi terus memburuk setiap hari karena proses penyakit dan munculnya ketidakseimbangan natrium dan kalium.
    1. Diskusikan dengan pasien kebutuhan akan aktivitas. Buat jadwal perencanaan dengan pasien dan identifikasi aktivitas yang menimbulkan kelelahan.
Rasional:
Pendidikan dapat memberikan motivasi untuk meningkatkan tingkat aktivitas meskipun pasien mungkin sangat lelah.
    1. Berikan aktivitas alternative dengan periode istirahat yang cukup atau tanpa diganggu.
Rasional:
Mencegah kelelahan yang berlebihan.
    1. Pantau nadi, frekuensi pernapasan dan tekanan darah sebelum atau sesudah melakukan aktivitas.
Rasional:
Mengindikasikan tingkat aktivitas yang dapat ditoleransi secara fisiologis.
    1. Diskusikan cara penghematan kalori selama mandi, berpindah tempat, dsb.
Rasional:
Pasien akan dapat melakukan lebih banyak kegiatan dengan penurunan kebutuhan akan energi pada setiap kegiatan.
    1. Tingkatkan partisipasi pasien dalam melakukan aktivitas sehari-hari sesuai dengan yang dapat ditoleransi.
Rasional:
Meningkatkan kepercayaan diri atau harga diri yang positif sesuai tingkat aktivitas yang dapat ditoleransi pasien.





BAB III
PENUTUP

  1. Kesimpulan
  1. Hyperglikemia, Hiperosmolar Non Ketogenik adalah sindrom berkaitan dengan kekurangan insulin secara relative, paling sering terjadi pada panderita NIDDM.
  2. Angka kematian HHNK 40-50%, lebih tinggi dari pada diabetik ketoasidosis. Karena pasien HHNK kebanyakan usianya tua dan seringkali mempunyai penyakit lain.
  3. Sindrome Hiperglikemia Hiperosmolar Non Ketotik mengambarkan kekurangan hormon insulin dan kelebihan hormon glukagon.
  4. Penurunan insulin menyebabkan hambatan pergerakan glukosa ke dalam sel, sehingga terjadi akumulasi glukosa di plasma.
  5. Peningkatan hormon glukagon menyebabkan glycogenolisis yang dapat meningkatkan kadar glukosa plasma.
  6. Peningkatan kadar glukosa mengakibatkan hiperosmolar.
  7. Kondisi hiperosmolar serum akan menarik cairan intraseluler ke dalam intra vaskular, yang dapat menurunkan volume cairan intraselluler.




DAFTAR PUSTAKA

Doenges, Marilynn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan: pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien. Edisi 3. Jakarta: EGC.
Hudak dan Gallo. Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik, edisi VI, volume II. Jakarta: EGC.
Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jakarta: Media Aesculapius.
Price, Sylvia Anderson. 1995. Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi 4.. Jakarta: EGC.
Smeltzer, Suzanne C. 2001. Buku ajar keperawatan medika-bedah Brunner dan Suddarth. Edisi 8.. Jakarta: EGC.
Asman. 1996. .Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ketiga. Jakarta: balai penerbit FKUI.

Selasa, 24 Mei 2011

ASUHAN KEPERAWATAN ATONIA UTERI

ASUHAN KEPERAWATAN
ATONIA UTERI
By. DENI SETIYAWAN

Atonia uteri merupakan penyebab terbanyak perdarahan pospartum dini (50%), dan merupakan alasan paling sering untuk melakukan histerektomi peripartum. Kontraksi uterus merupakan mekanisme utama untuk mengontrol perdarahan setelah melahirkan. Atonia uteri terjadi karena kegagalan mekanisme ini.
Perdarahan pospartum secara fisiologis dikontrol oleh kontraksi serabut-serabut miometrium yang mengelilingi pembuluh darah yang memvaskularisasi daerah implantasi plasenta. Atonia uteri terjadi apabila serabut-serabut miometrium tersebut tidak berkontraksi.
A. DEFINISI
  • Atonia uteria (relaksasi otot uterus) adalah Uteri tidak berkontraksi dalam 15 detik setelah dilakukan pemijatan fundus uteri (plasenta telah lahir). (JNPKR, Asuhan Persalinan Normal, Depkes Jakarta ; 2002)
B. ETIOLOGI
1. overdistention uterus seperti: gemeli, makrosomia, polihidramnion, atau paritas tinggi.
2. Umur yang terlalu muda atau terlalu tua
3. Multipara dengan jarak keahiran pendek
4. Partus lama / partus terlantar
5. Malnutrisi
6. Dapat juga karena salah penanganan dalam usaha melahirkan plasenta, sedangkan sebenarnya belum terlepas dari uterus.
C. MANIFESTASI KLINIS
Ý Uterus tidak berkontraksi dan lembek
Ý Perdarahan segera setelah anak lahir (post partum primer)
D. PENCEGAHAN ATONIA UTERI
Pemberian oksitosin rutin pada kala III dapat mengurangi risiko perdarahan pospartum lebih dari 40%, dan juga dapat mengurangi kebutuhan obat tersebut sebagai terapi. Menejemen aktif kala III dapat mengurangi jumlah perdarahan dalam persalinan, anemia, dan kebutuhan transfusi darah.
Kegunaan utama oksitosin sebagai pencegahan atonia uteri yaitu onsetnya yang cepat, dan tidak menyebabkan kenaikan tekanan darah atau kontraksi tetani seperti ergometrin. Pemberian oksitosin paling bermanfaat untuk mencegah atonia uteri. Pada manajemen kala III harus dilakukan pemberian oksitosin setelah bayi lahir. Aktif protokol yaitu pemberian 10 unit IM, 5 unit IV bolus atau 10-20 unit per liter IV drip 100-150 cc/jam.
Analog sintetik oksitosin, yaitu karbetosin, saat ini sedang diteliti sebagai uterotonika untuk mencegah dan mengatasi perdarahan pospartum dini. Karbetosin merupakan obat long-acting dan onset kerjanya cepat, mempunyai waktu paruh 40 menit dibandingkan oksitosin 4-10 menit. Penelitian di Canada membandingkan antara pemberian karbetosin bolus IV dengan oksitosin drip pada pasien yang dilakukan operasi sesar. Karbetosin ternyata lebih efektif dibanding oksitosin.
E. MANAJEMEN ATONIA UTERI

1. Resusitasi

Apabila terjadi perdarahan pospartum banyak, maka penanganan awal yaitu resusitasi dengan oksigenasi dan pemberian cairan cepat, monitoring tanda-tanda vital, monitoring jumlah urin, dan monitoring saturasi oksigen. Pemeriksaan golongan darah dan crossmatch perlu dilakukan untuk persiapan transfusi darah.

2. Masase dan kompresi bimanual

Masase dan kompresi bimanual akan menstimulasi kontraksi uterus yang akan menghentikan perdarahan.
Pemijatan fundus uteri segera setelah lahirnya plasenta (max 15 detik)
Ä Jika uterus berkontraksi
Evaluasi, jika uterus berkontraksi tapi perdarahan uterus berlangsung, periksa apakah perineum / vagina dan serviks mengalami laserasi dan jahit atau rujuk segera
Ä Jika uterus tidak berkontraksi maka :
­ Bersihkanlah bekuan darah atau selaput ketuban dari vagina & lobang serviks
­ Pastikan bahwa kandung kemih telah kosong
­ Lakukan kompresi bimanual internal (KBI) selama 5 menit.
ó Jika uterus berkontraksi, teruskan KBI selama 2 menit, keluarkan tangan perlahan-lahan dan pantau kala empat dengan ketat.
ó Jika uterus tidak berkontraksi, maka : Anjurkan keluarga untuk mulai melakukan kompresi bimanual eksternal; Keluarkan tangan perlahan-lahan; Berikan ergometrin 0,2 mg LM (jangan diberikan jika hipertensi); Pasang infus menggunakan jarum ukuran 16 atau 18 dan berikan 500 ml RL + 20 unit oksitosin. Habiskan 500 ml pertama secepat mungkin; Ulangi KBI
Jika uterus berkontraksi, pantau ibu dengan seksama selama kala empat
Jika uterus tidak berkontraksi maka rujuk segera

3. Uterotonika

Oksitosin merupakan hormon sintetik yang diproduksi oleh lobus posterior hipofisis. Obat ini menimbulkan kontraksi uterus yang efeknya meningkat seiring dengan meningkatnya umur kehamilan dan timbulnya reseptor oksitosin. Pada dosis rendah oksitosin menguatkan kontraksi dan meningkatkan frekwensi, tetapi pada dosis tinggi menyababkan tetani. Oksitosin dapat diberikan secara IM atau IV, untuk perdarahan aktif diberikan lewat infus dengan ringer laktat 20 IU perliter, jika sirkulasi kolaps bisa diberikan oksitosin 10 IU intramiometrikal (IMM). Efek samping pemberian oksitosin sangat sedikit ditemukan yaitu nausea dan vomitus, efek samping lain yaitu intoksikasi cairan jarang ditemukan.
Metilergonovin maleat merupakan golongan ergot alkaloid yang dapat menyebabkan tetani uteri setelah 5 menit pemberian IM. Dapat diberikan secara IM 0,25 mg, dapat diulang setiap 5 menit sampai dosis maksimum 1,25 mg, dapat juga diberikan langsung pada miometrium jika diperlukan (IMM) atau IV bolus 0,125 mg. obat ini dikenal dapat menyebabkan vasospasme perifer dan hipertensi, dapat juga menimbulkan nausea dan vomitus. Obat ini tidak boleh diberikan pada pasien dengan hipertensi.
Uterotonika prostaglandin merupakan sintetik analog 15 metil prostaglandin F2alfa. Dapat diberikan secara intramiometrikal, intraservikal, transvaginal, intravenous, intramuscular, dan rectal. Pemberian secara IM atau IMM 0,25 mg, yang dapat diulang setiap 15 menit sampai dosis maksimum 2 mg. Pemberian secara rektal dapat dipakai untuk mengatasi perdarahan pospartum (5 tablet 200 µg = 1 g). Prostaglandin ini merupakan uterotonika yang efektif tetapi dapat menimbulkan efek samping prostaglandin seperti: nausea, vomitus, diare, sakit kepala, hipertensi dan bronkospasme yang disebabkan kontraksi otot halus, bekerja juga pada sistem termoregulasi sentral, sehingga kadang-kadang menyebabkan muka kemerahan, berkeringat, dan gelisah yang disebabkan peningkatan basal temperatur, hal ini menyebabkan penurunan saturasi oksigen. Uterotonika ini tidak boleh diberikan pada pasien dengan kelainan kardiovaskular, pulmonal, dan disfungsi hepatik. Efek samping serius penggunaannya jarang ditemukan dan sebagian besar dapat hilang sendiri. Dari beberapa laporan kasus penggunaan prostaglandin efektif untuk mengatasi perdarahan persisten yang disebabkan atonia uteri dengan angka kesuksesan 84%-96%. Perdarahan pospartum dini sebagian besar disebabkan oleh atonia uteri maka perlu dipertimbangkan penggunaan uterotonika ini untuk mengatasi perdarahan masif yang terjadi.

4. Uterine lavage dan Uterine Packing

Jika uterotonika gagal menghentikan perdarahan, pemberian air panas ke dalam cavum uteri mungkin dapat bermanfaat untuk mengatasi atonia uteri. Pemberian 1-2 liter salin 47°C-50°C langsung ke dalam cavum uteri menggunakan pipa infus. Tangan operator tidak boleh menghalangi vagina untuk memberi jalan salin keluar.
Penggunaan uterine packing saat ini tidak disukai dan masih kontroversial. Efeknya adalah hiperdistended uterus dan sebagai tampon uterus.
Prinsipnya adalah membuat distensi maksimum sehingga memberikan tekanan maksimum pada dinding uterus. Segmen bawah rahim harus terisi sekuat mungkin, anestesi dibutuhkan dalam penanganan ini dan antibiotika broad-spectrum harus diberikan. Uterine packing dipasang selama 24-36 jam, sambil memberikan resusitasi cairan dan transfusi darah masuk. Uterine packing diberikan jika tidak tersedia fasilitas operasi atau kondisi pasien tidak memungkinkan dilakukan operasi.

5. Operatif

Beberapa penelitian tentang ligasi arteri uterina menghasilkan angka keberhasilan 80-90%. Pada teknik ini dilakukan ligasi arteri uterina yang berjalan disamping uterus setinggi batas atas segmen bawah rahim. Jika dilakukan SC, ligasi dilakukan 2-3 cm dibawah irisan segmen bawah rahim. Untuk melakukan ini diperlukan jarum atraumatik yang besar dan benang absorbable yang sesuai. Arteri dan vena uterina diligasi dengan melewatkan jarum 2-3 cm medial vasa uterina, masuk ke miometrium keluar di bagian avaskular ligamentum latum lateral vasa uterina. Saat melakukan ligasi hindari rusaknya vasa uterina dan ligasi harus mengenai cabang asenden arteri miometrium, untuk itu penting untuk menyertakan 2-3 cm miometrium. Jahitan kedua dapat dilakukan jika langkah diatas tidak efektif dan jika terjadi perdarahan pada segmen bawah rahim. Dengan menyisihkan vesika urinaria, ligasi kedua dilakukan bilateral pada vasa uterina bagian bawah, 3-4 cm dibawah ligasi vasa uterina atas. Ligasi ini harus mengenai sebagian besar cabang arteri uterina pada segmen bawah rahim dan cabang arteri uterina yang menuju ke servik, jika perdarahan masih terus berlangsung perlu dilakukan bilateral atau unilateral ligasi vasa ovarian.
• Ligasi arteri Iliaka Interna
Identiffikasi bifurkasiol arteri iliaka, tempat ureter menyilang, untuk melakukannya harus dilakukan insisi 5-8 cm pada peritoneum lateral paralel dengan garis ureter. Setelah peritoneum dibuka, ureter ditarik ke medial kemudian dilakukan ligasi arteri 2,5 cm distal bifurkasio iliaka interna dan eksterna. Klem dilewatkan dibelakang arteri, dan dengan menggunakan benang non absobable dilakukan dua ligasi bebas berjarak 1,5-2 cm. Hindari trauma pada vena iliaka interna. Identifikasi denyut arteri iliaka eksterna dan femoralis harus dilakukan sebelum dan sesudah ligasi.
Risiko ligasi arteri iliaka adalah trauma vena iliaka yang dapat menyebabkan perdarahan. Dalam melakukan tindakan ini dokter harus mempertimbangkan waktu dan kondisi pasien.
• Teknik B-Lynch
Teknik B-Lynch dikenal juga dengan “brace suture”, ditemukan oleh Christopher B Lynch 1997, sebagai tindakan operatif alternative untuk mengatasi perdarahan pospartum akibat atonia uteri.
• Histerektomi
Histerektomi peripartum merupakan tindakan yang sering dilakukan jika terjadi perdarahan pospartum masif yang membutuhkan tindakan operatif. Insidensi mencapai 7-13 per 10.000 kelahiran, dan lebih banyak terjadi pada persalinan abdominal dibandingkan vaginal.


KOMPRESI BIMANUAL UTERUS ATONI
Peralatan : sarung tangan steril; dalam keadaan sangat gawat; lakukan dengan tangan telanjang yang telah dicuci
Teknik :
Basuh genetalia eksterna dengan larutan disinfektan; dalam kedaruratan tidak diperlukan
  1. Eksplorasi dengan tangan kiri
Sisipkan tinju kedalam forniks anterior vagina
  1. Tangan kanan (luar) menekan dinding abdomen diatas fundus uteri dan menangkap uterus dari belakang atas
  2. Tangan dalam menekan uterus keatas terhadap tangan luar
Ia tidak hanya menekan uterus, tetapi juga meregang pembuluh darah aferen sehingga menyempitkan lumennya.
Kompresi uterus bimanual dapat ditangani tanpa kesulitan dalam waktu 10-15 menit.
Biasanya ia sangat baik mengontrol bahaya sementara dan sering menghentikan perdarahan secara sempurna.
Bila uterus refrakter oksitosin, dan perdarahan tidak berhenti setelah kompresi bimanual, maka histerektomi tetap merupakan tindakan terakhir!


DAFTAR PUSTAKA
James R Scott, et al. Danforth buku saku obstetric dan ginekologi. Alih bahasa TMA Chalik. Jakarta: Widya Medika, 2002.
Obstetri fisiologi, Bagian Obstetri dan Ginekologi, Fakultas Kedokteran Unversitas Padjajaran Bandung, 1993.
Mochtar, Rustam. Sinopsis obstetrik. Ed. 2. Jakarta: EGC, 1998.
Manuaba, Ida Bagus Gede. Ilmu kebidanan, penyakit kandungan dan keluarga berencana. Jakarta: EGC, 1998.
Bobak, Lowdermilk, Jensen. Buku ajar keperawatan maternitas. Alih bahasa: Maria A. Wijayarini, Peter I. Anugerah. Jakarta: EGC. 2004
Heller, Luz. Gawat darurat ginekologi dan obstetric. Alih bahasa H. Mochamad martoprawiro, Adji Dharma. Jakarta: EGC, 1997.